Minggu, 24 Juni 2018

Mitos “Metangi” Arca Lingga Ida Ratu Mas Pura Dalem Tanggahan Tengah




Pohon Cempaka merupakan titik awal dari cerita leluhur kami terkait “metanginya” arca lingga Ida Sesuhunan ring Pura Dalem Banjar Tanggahan Tengah. “Metangi” yang kami maksud dalam hal ini adalah diangun/dibuat suatu benda.
Pohon cempaka merupakan pohon yang memiliki bunga yang begitu harum yang memiliki banyak manfaat dengan berbagai mitos kepercayaan yang berkembang. Di Bali sendiri bunga dan pohon cempaka memiliki banyak kegunaan seperti untuk upakara yadnya (persembahyangan), serta kayunya sering digunakan untuk membuat tapel.

Terlepas dari cerita pohon cempaka yang memiliki banyak kegunaan, kami akan menceritakan terkait sejarah metanginya Arca Lingga Ida Sesuhunan ring Pura Dalem Banjar Tanggahan Tengah. Diceritakan konon sekitar tahun 1950-1960 terdapat pohon cempaka yang begitu besar di Pura Dalem Banjar Tanggahan Tengah, pohon ini terletak di arah barat daya Pura. Diperkirakan pohon tersebut sudah ada dari ratusan tahun dahulu, dimana tak seorangpun leluhur kami yang ditanya mengetahuinya. Pada tahun 1960-an tersebut terdapat pembangunan di Pura Dalem, sehingga pohon Cempaka tersebut terpaksa ditebang. Namun penebangan tidak berjalan mulus karena setiap kayu sisa hasil tebangan tumbuh dengan cepat. Seiring berjalannya waktu banyak kejadian aneh yang terjadi pula, mulai  dari kekeringan, pertengkaran, sampai banyak warga yang sakit sampai meninggal salahpati(meninggal tidak wajar), kekeringan. Dari kejadian tersebut makan penglingsir pada saat itu menanyakan kejadian aneh tersebut ke orang pintar. Hasil dari bertanya tersebut diperoleh bahwa terdapat manifestasi tuhan yang beristana di Pohon Cempaka tersebut marah dan meminta agar mengembalikan pohon supaya hidup kembali.


Singkat cerita para penglingsir saat itu melakukan paruman(rapat) adat dan salah satu penglingsir memberi masukan cara untuk menjadikan pohon cempaka yang ditebang hidup kembali yaitu dengan cara membuat tapel, karena di Bali sendiri tapel dianggap benda hidup karena memiliki kekuatan magis yang begitu besar. Dan para anggota paruman menyetujuinya dan dibangunlah Arca Lingga berupa 1 Barong Ketet, 3 tapel Rangda, serta 1 tapel Serenggi dari bongkol (batang terbawah) dari Pohon Cempaka yang ditebang. Pada saat itu dikatakan bahwa pemahat yang membuat merupaka penglingsir dari Singapadu, Gianyar. Arca Lingga tersebut sampai saat ini masih disungsung oleh warga pada khususnya warga Tanggahan Tengah.

Selasa, 22 Mei 2018

Menelusuk Sejarah Tanggahan Tengah



Om Swastiastu, Om Awighnamastu Namo Siddham. Om Hrang Hring Sah Parama Siwaditya ya Nawah. Sebelumnya saya haturkan pengaksama mohon maaf ke hadapan Parama Kawi serta Batara-Betari serta Leluhur semuanya. Agar saat menceritakan keberadaan para leluhur yang telah pulang ke Nirwana, saya terlepas dari kutukan dan neraka karena bahasan ini diambil dari berbagai sumber informasi yang mungkin belum akurat kebenarnnya. Pada tulisan kali ini saya akan mencoba mendalami kemungkinan asal usul Tanggahan Tengah, mohon jika ada kesalahan dan kekurangan segera diberikan masukan.
Tanggahan Tengah berasal dari dua suku kata yaitu Tanggahan dan Tengah, Tanggahan dapat ditafsirkan berasal dari asal kata tangga yang memiliki arti “tangga” atau “tanggu”, kata tangga memiliki arti undagan/ tingkatan sedangkan tanggu artinya merupakan ujung, serta tengah yang artinya posisi tengah. Kali ini penulis akan membahasa arti kata Tanggahan Tengah dari asal kata Tanggahan sebagai “tanggu”. Dalam arti tersebut dapat diartikan bahwa nama Tanggahan Tengah memiliki arti “Tanggu” dan “Tengah” yang apabila digabung menjadi Tanggu Tengah. Tanggu Tengah apabila diartikan merupakan ujung tengah atau bisa dikatakan sebagai pusat. Dari arti kata tersebut penulis menafsirkan bahwa Tanggahan Tengah merupakan pusat, kemungkinan pusat perang pusat pemerintahan pada jaman kerajaan.
Dalam penapsiran lain juga bisa diambil kata  "Tanggahan" yang artinya "Nanggehan" yang memiliki pengertian "Mengundur", dan "Tengah"yang artinya "Tengah" jadi dalam konteks ini dapat diartikan bahwa Tanggahan Tengah artinya Mengundur di Tengah, kemungkinan mengundur peperangan saat terjadinya perang terdahulu.
Penulis belum dapat membuktikan dari arti kata tersebut dengan bukti yang ontentik, namun dari peninggalan sejarah seperti Pura yang terdapat di wilayah Tanggahan Tengah dapat dikatakan bahwa di wilayah Tanggahan Tengah tersendiri memang terdapat sebuah kerajaan pada jaman kerajaan. Pura tersebut seperti Pura Merajan Agung Dalem Tenggaling dan Pura Bujangga Kentel Gumi. Dimana Pura Merajan Agung Dalem Tenggaling  merupakan Pura pemujaan bagi Para Kesatria dan Pura Bujangga Kentel Gumi merupakan Pura pemujaan bagi  Para Brahmana.
Diceritakan oleh para penglingsir bahwa penyungsung Pura Merajan Agung Dalem Tenggaling memang benar para raja (Anak Agung). Namun karena terdapat sesuatu hal yang terjadi di wilayah Tanggahan Tengah pada jaman dulu, para raja meninggalkan wilayah Tanggahan Tengah dan para kesatria kerajaan Nyineb Wangsa, sehingga saat ini Pura Merajan Agung Dalem Tenggaling disungsung oleh masyarakat sekitar. Sedangkan para kesatria yang Nyineb Wangsa masih berdomisili di Banjar Tanggahan Tengah.
Sedangkan Pura Bujangga/ Kentel Gumi yang sujatinya merupakan palinggih sebagai Sthana Bhatara Sakti Bhujanga, yang merupakan bukti dari trah/sekte Bujangga Waisnawa pada jaman kerajaan dahulu di Wilayah Tanggahan Tengah. Sekta Bujangga Waisnawa merupakan salah satu sekta pada abad ke IX di Bali. Diceritakan kemunculan dari Sekta ini dimulai dengan kegaduhan yang ada di Bali Pada tahun Saka 910 (988 M), yang pada saat itu Bali diperintah raja Dharma Udayana dengan permaisurinya berasal dari Jawa Timur bernama Gunapria Dharmapatni (putri Makutawangsa Whardana).Pemerintahan Dharma Udayana dibantu beberapa pendeta yang didatangkan dari Jawa Timur. Antara lain Mpu Kuturan merupakan keturunan Bujangga Waisnawa pada saat itu. Mpu Kuturan diserahi tugas sebagai ketua majelis tinggi penasehat raja dengan pangkat senapati, sehingga dikenal sebagai Senapati Kuturan. Kegaduhan disebabkan karena banyaknya Sekta yang berkembang seperti, Sekta Siwa Sidhanta, Brahmana, Resi, Sora, Pasupata, Ganapatya, Bhairawa, Waisnawa, dan Sogatha. Sehubungan dengan hal tersebut, raja lalu menugaskan kepada Senapati Kuturan untuk mengatasi kekacauan itu.Atas dasar tugas tersebut, Mpu Kuturan mengundang semua pimpinan sekte dalam suatu pertemuan yang dilakukan di Bataanyar (Samuan Tiga).Pertemuan ini mencapai kata sepakat dengan keputusan Tri Sadaka dan Kahyangan Tiga. Senapati Kuturan sangat berjasa dalam hal ini, karena dapat  menangani kekacauan dan mendapatkan kata sepakat diantara Sekta-Sekta yang ada. Oleh sebeb itulah maka dalam zaman raja-raja berikutnya, Bujangga Waisnawa ini selalu menjadi Purohita mendampingi raja. Sedangkan sejarah lain terkait Sekta Bujangga Waisnawa adalah perjalanan Maharsi Markandya ke Bali. Seperti pembangunan Pura Besakih serta Pura –Pura besar lainnya.
Dari bahasan tersebut penulis memperkirakan bahwa Tanggahan Tengah sudah ada dari jaman kerajaan dahulu, dan terdapat sorang Raja yang memerintah.