Kamis, 21 Desember 2017

Proses Nunas Taru Pule

Pohon merupakan salah satu rantai kehidupan yang sangat penting. Karena pohon merupakan unsur yang menghasilkan oksigen yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Oleh sebab itu sudah sepatutnya Pohon itu harus dilestarikan, salah satunya pohon Pule yang sangat disucikan di Bali.

Pohon pule adalah pohon yg di sakralkan dan disucikan, karena kesuciannya pule sering digunakan sebagai bahan baku pembuatan: tapel tapakan (pelawatan) Ida batara, pratima dan termasuk pula tapel (topeng) para penari bali yg di tunas dari sang taru ,adapun beberapa alasan menyucikannya  antara lain karena pule adalah pohon yg dapat tumbuh besar,daunnya yg rindang menyaring udara tetap bersih ,dengan melepaskan oksigennya yg murni membuat mahluk d sekelilingnya bernafas dengan sehat serta umurnya yg panjang membuatnya pantas dijadikan sebagai Guru karena ia telah menyaksikan dan menyimpan banyak memori tentang kejadian dalam peradaban dan juga -sebagai husada(obat obatan) yg seyogyanya sangat bermanfaat bagi kita, pada saat kita mampu untuk berkomunikasi dengannya akan banyak ilmu yg kita dapat seperti apa yg tertulis dalam lontar sastra (taru pramana). 

Pada penggunaanya sebagai tapel di Bali, proses pengambilan kayu Pule tersebut tidaklah mudah seperti mencari kayu kayu lain pada umumnya. Hari suci haruslah dipilih dengan baik dalam proses pencarian kayu tersebut, biasanya kayu yang akan diambil adalah bagian Unteng (pusat dari kayu) dan hanya sebagian kayu sajalah yang diambil, yang artinya tidak harus menebang pohon sampai mati.
Proses pembuatan Tapel Pelawatan Ida Batara dimulai dengan proses piuning, dilanjutkan dengan proses Nunas (mencari kayu pule) dengan mencari hari baik. Proses pencarian Taru Pule pada proses pembuatan Pelawatan Ida Sesuhunan di Pura Dalem Tengaling Banjar Adat Tanggahan Tengah dilakukan proses nunas Taru di tempat sebuah tempat suci yaitu Pesucian Taman Swari Tanggahan Tengah. Proses Nunas Taru ini dilakukan pada hari Minggu 3 Desember 2017. Setelah proses nunas taru tersebut bagian taru yang ditunas yang dijadikan tapel pelawatan tersebut akan dibentuk menjadi tapel pelawatan sesuai yang sudah direncanakan. Setelah bentuk dasar sudah jadi maka akan dilanjutkan dengan proses perendaman.

Proses Perendaman ini dilakukan dengan menggunakan beberapa ramuan tradisional Bali. Proses ini dilakukan sepanjang 3 hari (1 Kliwon), proses ini dilakukan guna membuat Taru agar awet. Setelah 3 hari taru itu akan selesai diambil dan dilanjutkan proses pembentukan hingga proses pengecatan.

Jumat, 20 Oktober 2017

Upacara Pasupati Barong

Betara Gede Banjar Tanggahan Tengah

Upacara Pasupati merupakan upacara sakral yang sejak dulu sudah diturunkan sebagai tradisi dalam kehidupan masyarakat Bali. Upacara Pasupati adalah bagian dari upacara Dewa Yadnya, yaitu sujud bakti kehadapan para dewa sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dimana secara umum pengertian dari Upacara Pasupati adalah memberi jiwa kepada sebuah benda sakral seperti Barong, Keris, dan Pratima Lainnya.
Dalam Ajaran Agama Hindu Upacara Pasupati disebutkan dalam beberapa Sloka pada Kitab Suci Weda yang salah satu bunyinya adalah sebagai berikut:

"Bhurita Indra Wiryam tawa smaya Sya stoturma dhawan kamana prna Anu tedyavabhahah wiryani nama Iyam ca te prthiwi nama ojase"
Artinya: “keselamatan-Mu sungguh hebat, Dewa Indra. Kami adalah milikMu, kabulkanlah Madhawan. Permohonan pemuja-Mu, langit yang megah seperti engkau. Kepada-Mu dan untuk kesaktian-Mu bumi mengabdi (Reg Weda)”.

Pemikiran di atas mengandung makna, penggambaran hubungan manusia dengan Tuhannya dapat melalui permohonan doa, kesucian pikiran ada kekuatan magic yang diyakini berkah Ida Hyang Widhi Wasa yang dilimpahkan pada umatnya. Secara simbolik upacara Pasupati berarti memberkahi jiwa (kekuatan magic) pada benda-benda budaya yang mempunyai nilai luhur dan memberikan kesejahteraan pada umatnya.Pada Pelaksanaannya Upacara Pasupati dilakukan pada hari hari tertentu seperti Kajeng Kliwon, Purnawa, Tilem dan hari bail lainnya.
Nilai luhur yang terkandung dalam upacara Pasupati adalah:

1. Nilai religius, kekuatan sakti para Dewa sebagai manifestasi Ida Hyang Widhi Wasa sebagai media sakralisasi dan sangat diyakini oleh masyarakat
2. Nilai bhakti antar penyungsung integrasi umat manusia melalui upacara.
4. Sebagai proses sosialisasi dan enkulturasi nilai luhur pada generasi penerus.
5. Upacara Pasupati sebagai bagian dari upacara Dewa Yadnya yang memiliki unsur budaya yang harus hidup terus (survival) yang masih ditradisikan dari tradisi kecil, tradisi besar sampai tradisi modern.

sumber: http://phdi.or.id/artikel/upacara-pasupati-sebagai-media-sakralisasi

Kamis, 27 Juli 2017

Ngunying/Ngurek


Ngunying/Ngurek



Ngurek berasal dari kata ‘urek’ yang berarti tusuk, jadi Ngurek/Ngunying dalam kontek ini dapat diartikan menusuk bagian tubuh sendiri dengan keris, tombak atau alat lainnya saat berada dalam kondisi kerasukan/kerauhan (trance)


Munculnya Tari Ngurek atau  Tari Ngunying adalah sebuah tarian yang menunjukkan kedigdayaan para prajurit pada jaman kerajaan dan juga bertujuan untuk menunjukkan rasa syukur kepada Sang Hyang Wenang yang telah memberikan Anugerah.

Secara garis besar prosesi Ngurek atau Ngunying terbagi menjadi tiga yang terdiri dari:
Nusdus adalah merangsang para pelaku ngurek dengan asap yang beraroma harum menyengat agar segera kerasukan. Masolah merupakan tahap menari dengan iringan lagu-lagu dan koor kecak atau bunyi-bunyian gamelan Ngaluwur berarti mengembalikan pelaku ngurek pada jati dirinya.

Masuknya roh kedalam diri para pengurek ini ditandai oleh keadaan: badan menggigil, gemetar, mengerang dan memekik, dengan di iringi suara gending gamelan, para pengurek yang kerasukan, langsung menancapkan senjata, biasanya berupa keris pada bagian tubuh di atas pusar seperti dada, dahi, bahu, leher, alis dan mata, walaupun keris tersebut ditancapkan dan ditekan kuat kuat secara berulang ulang, jangankan berdarah, tergores pun tidak kulit para pengurek tersebut, roh yang ada didalam tubuh para pengurek ini menjaga tubuh mereka agar kebal, tidak mempan dengan senjata.

Tradisi Ngurek ini merupakan kebiasaan masyarakat Bali, dimana saat upacara mengundang roh leluhur dilakukan, para roh diminta untuk berkenan memasuki badan orang-orang yang telah ditunjuk, dan menjadi sebuah tanda, bahwa roh-roh yang diundang telah hadir di sekitar mereka. Tradisi Ngurek juga dipercaya, untuk mengundang Ida Bhatara dan para Rerencangan (prajurit beliau) berkenan menerima persembahan ritual saat upacara.

Sumber:

https://denpasarkota.go.id/index.php/baca-senibudaya/61/Makna-Ngurek-Atau-Ngunying-Di-Bali

Rabu, 26 Juli 2017

Penghargaan Pengabdi Seni 2017


Penghargaan Pengabdi Seni I Nyoman Pudja


Penghargaan Pengabdi Seni Pada Pesta Kesenian Bali XXXIX Tahun 2017 



Pemberian penghargaan kepada Para Pengabdi seni merupakan salah satu wujud apresiasi Pemerintah Provinsi Bali, kepada para Seniman yang telah berjasa dalam melestarikan seni budaya dan telah menunjukkan Dharma baktinya secara konsisten kepada pemerintah, masyarakat, dan seni itu sendiri. 
Menurut Gubernur Bali, pengabdian para seniman Lingsir telah menunjukkan bahwa beliau-beliau mampu menjadi penerus nilai-nilai berkesenian yang telah diwariskan oleh para leluhur. Ditambahkan Pastika, Seniman Lingsir adalah pewaris sekaligus penerus, hasil Cipta, Rasa, Karsa dari para leluhur kepada generasi sekarang dan generasi mendatang.
Lebih lanjut, keberadaan seni budaya Bali yang tetap Lestari bahkan berkembang ditengah derasnya arus globalisasi saat ini tentu tidak bisa dilepaskan oleh peran dan pengabdian para seniman Lingsir. Budaya global dengan kemajuan teknologinya yang mengancam eksistensi nilai-nilai tradisional Bali harus di seleksi agar dapat memperkuat dan memperkaya Setiap unsur kebudayaan daerah.
Pesta Kesenian Bali setiap tahun, telah membuktikan bahwa kehidupan berkesenian masyarakat Bali sangat semarak dan semua seni tradisional masih lestari, disamping sangat banyak lahirnya kreasi garapan baru. Pesta Kesenian Bali dan juga kegiatan kesenian lainnya harus dapat mensejahterakan seniman dan masyarakat Bali secara umum.
Sementara itu, Ketua Panitia Pesta Kesenian Bali XXXIX Tahun 2017 Drs. Dewa Putu Beratha, M.Si dalam laporannya mengatakan jika pemberian penghargaan pengabdi Seni merupakan wujud perhatian Pemerintah Provinsi Bali terhadap para Seniman yang telah mengabdikan hidupnya pada bidang seni dan budaya Bali.
Menurutnya, proses pemberian penghargaan pengabdi seni tahun 2017, berdasarkan atas usulan dari Pemerintah Kabupaten/Kota se-Bali untuk selanjutnya diseleksi oleh tim kurator PKB XXXIX Tahun 2017 dan dipilih penerima penghargaan pengabdi seni sebanyak 9 (sembilan) orang ditetapkan dengan keputusan Gubernur Bali Nomor : 1287/03-K/HK/2017 tanggal 7 Juni 2017.

I Nyoman Pudja ST., M.Ag



Adapun kesembilan penerima penghargaan tersebut ialah I Nyoman Pudja, SST, M.Ag (63), Seniman Tari, asal Br. Tanggahan Tengah, Desa Demulih, Kwc. Susut, Bangli.  Drs. I Wayan Swardaniyasa (65), Seniman Tari, Tabuh dan Pencipta Lagu, asal Br. Ulapan, Desa Blahkiuh, Kec. Abiansemal, Badung. Putu Sumardika (61), Seniman Karawitan, asal Br. Dinas Delod Margi, Desa Nagasepeha, Buleleng. I Wayan Sweca, S.Skar., M.Si (69), Seniman Karawitan, asal Kesiman Pentilan, Denpasar. Ida Made Giur Dipta. AMa.Pd (69), Seniman Tari dan Karawitan, asal Br. Dinas Pekandelan, Desa Culik, Kec. Abang, Karangasem. Ni Wayan Ranten (65), Seniman Tari (Tari Arja), asal Denpasar. I Nengah Madia (69), Seniman Sastra Daerah, asal Pemedilan, Dauhwaru, Jembrana. Ketut Surata (78), Seniman Sastra Daerah, asal Br. Pande, Kelurahan Semarapura Kelod Kangin, Klungkung. Serta I Made Mundra, S.Pd (58), Seniman Tari, asal Br. Serason, Desa Pitra, Kec. Penebel, Tabanan.




Sumber: 

http://www.birohumas.baliprov.go.id/index.php/berita-detail/3348/Gubernur-Pastika-Serahkan-Penghargaan-Kepada-9-Seniman-Pengabdi-Seni-Tahun-2017/

Senin, 22 Mei 2017

Barong

Barong merupakan salah satu seni budaya yang ada di Bali. Jika berkunjung ke Bali tidak lengkap jika belum dapat menonton tarian Barong. Banyak paket wisata di Bali yang berisi paket menonton Barong. Jika sudah menonton pasti akan terpikir apa itu Barong. Di Bali sendiri tarian Barong debedakan menjadi tarian sacral dan tarian hiburan, tarian sakral adalah tarian yang hanya ditarikan pada acara tertentu yang sifatnya sakral, seperti saat piodalan atau karya di suatu Pura. Pada artikel ini akan dipaparkan sejarah Barong yang terdapat di Bali.
Tarian Barong merupakan tarian khas Bali yang sudah berkembang dari jaman Pra-Hindu. Secara umum tarian ini mengilustrasikan pertarungan antara kebaikan (dharma) melawan kejahatan (adharma). Barong merupakan penggambaran dari tokoh Barong dan lawannya adalah Rangda. Barong digambarkan sebagai binatang berkaki empat. Terdapat beberapa jenis Barong yang ada di Bali, diantaranya adalah sebagai berikut.

1.Barong Ket
Barong Ket menggambarkan perpaduan antara binatang macan, harimau, dan lembu. Dalam proses pembuatannya pada bagian badan dibuat dengan serat daun braksok (sejenis pandan), dihiasi dengan ornamen ukiran dari bahan kulit sapi dengan potongan kaca cermin. Dalam proses menarikan Barong Ket ditarikan oleh dua orang penari. Lakon yang sering dimainkan dengan tarian Barong Ket adalah Lakon Calonarang, yang menggambarkan pertarungan Mpu Pradah (kebaikan) melawan I Calonarang (I Walunateng Dirah).



2.Barong Macan
Barong Macan sesuai namanya ialah Barong yang menggambarkan binatang macan sebagai binatang yang buas di hutan, sebagai penjaga hutan dari gangguan luar. Dalam tariannya Barong Macan juga ditarikan oleh dua penari. Lakon yang sering dimainkan dengan lakon Tantri yaitu cerita binatang hutan dalam menjaga hutan dari kerusakan dan gangguan dari pemburu.

3. Barong Bangkal
Barong Bangkal, Bangkal yang artinya Babi besar yang berumur tua dengan taring tajam. Tarian Barong Bangkal juga ditarikan oleh dua orang penari



4.Barong Landung





Barong Landung adalah Barong yang tidak lagi berbentuk hewan. Cerita yang meliputi Barong Landung ialah Barong ini merupakan penggambaran dari Raja Kerajaan Bali yang bernama Jaya Pangus dimana ia mempersunting seorang putri Tiongkok bernama Kang Cing Wei. Cerita dalam pementasan Barong Landung berpusat pada bagaimana pernikahan antara kedua manusia tadi tidak direstui oleh para dewa karena Jaya Pangus dinilai telah melanggar adat dan ketika tidak dapat memiliki keturunan ia pergi menemui Dewi Danu dan dijadikan properti milik Dewi tersebut sehingga terjadi pertikaian antara istrinya dengan sang Dewi.


5.Barong Kedingkling
Barong Kedingkling disebut juga Barong Blasblasan. Ada juga yang menyebutnya barong Nong nong Kling. Secara bentuk, barong jenis ini berbeda jauh dengan barong jenis lainnya. Barung ini lebih menyerupai kostum topeng yang masing-masing karakter ditarikan oleh seorang penari. Tokoh-tokoh dalam barong Kedingkling persis dengan tokoh-tokoh dalam Wayang Wong. Saat menari, cerita yang dibawakannya pun adalah lakon cuplikan dari cerita Ramayana terutama pada adegan perangnya. Pementasan barong kedingkling ini biasanya dilakukan dengan ngelawang dari rumah ke rumah berkeliling desa pada perayaan hari Raya Galungan dan Kuningan. Pertunjukan Barong Kedingkling diiringi dengan gamelan batel. Barong Kedingkling banyak terdapat di daerah Gianyar, Bangli dan Klungkung.

6.Barong Brutuk
Barong Brutuk termasuk jenis tarian langka yang ditarikan hanya pada saat-saat khusus. Barong ini memiliki bentuk yang lebih primitif dibandingkan dengan jenis barong Bali yang lain. Topeng barong ini terbuat dari batok kelapa dan kostumnya terbuat dari keraras atau daun pisang yang sudah kering. Barong ini melambangkan makhluk-makhluk suci (para pengiring Ida Ratu Pancering Jagat) yang berstana di Pura Pancering Jagat, Trunyan. Penarinya adalah remaja yang telah disucikan, yang masing-masing membawa cambuk yang dimainkan sambil berlari-lari mengelilingi pura. Barong yang ditarikan dengan iringan gamelan ini hanya terdapat di daerah Trunyan-Kintamani, Bangli.

Selain Barong yang disebutkan masih ada beberapa jenis barong namun keberadaannya hanya beberapa di Bali, barong tersebut seperti Barong Lembu/Sapi, Barong Gajah, Barong Asu dan Barong Naga.

Refrensi:
http://www.portalsejarah.com/sejarah-tari-barong-bali.html
https://kadeksatria.files.wordpress.com/2015/09/barong-macan.jpg

Kamis, 11 Mei 2017

Ida Panditha Mpu Budha Maharesi Alit Parama Daksa


Lahir di keluarga sederhana yang notabene adalah pedagang yang terletak di Banjar Tanggahan Tengah, Desa Demulih, Kabupaten Bangli. Singkatnya, apa yang dilakoni anak-anak kebanyakan, itulah juga yang beliau lakukan. Tidak ada tanda-tanda keanehan dalam diri seorang sulinggih Kanya ini. Sebelumnya beliau berhasil menamatkan diri hingga sekolah Menengah Kejuruan (SMEA) yang ada di Bangli dengan tujuan mudah mendapatkan pekerjaan. Ida Rsi Memiliki nama Walaka Ni Komang Widiantari.
Sebelum tamat, sebagai anak yang termasuk pintar, hingga Ida akhirnya terpilih mewaliki Propinsi Bali untuk pertukaran pemuda. Singkat cerita, setelah tamat ada keinginan kuat untuk bekerja hingga akhirnya diikutilah kegiatan testing ke Bintan. Namun setelah beberapa lama pekerjaan tak  kunjung datang. Hingga akhirnya kebingungan mulai menyelimuti, Maharsi Alit. Kebingunan ini muncul diperkirakan sekitar awal Januari 2006.
Kemudian beliau pulang ke Bali, dan mencoba mencari pekerjaan ke sana-ke mari. Namun seperti di atas, hasilnya nihil. “Tiang merasa kecewa saat itu, malu dengan keluarga, diri sendiri dan teman-teman,” ujar kelahiran (walaka) 14 Maret 1985 ini. Ida merasakan ketidak-adilan manakala teman-temannya yang lain mendapat kerja namun beliau tidak sama sekali. Kebingungan terus melanda.
Karena bingung, sekitar September 2006, melalui Mangku Alit (saat ini menjadi bagian dari Kesulinggihannya yang membantu dalam setiap pelaksanaan yadnya Ida Sulinggih) yang merupakan kakak sepupunya Ida disuruh untuk melaksanakan pelukatan. Akhirnya hal inipun dilakoni. Namun kebingungan makin menjadi. Hingga akhirnya disarankan lagi untuk melaksanakan meditasi. Sebagai anak muda, saat itu, Ida sama sekali tidak mengerti apa yang dikatakan Mangku Alit. Yang ada dalam benaknya, meditasi adalah sebuah ritual yang rumit dan mesti dilakukan di tengah hutan seperti cerita-cerita kuno.
Setelah diterangkan, maka mengertilah sedikit mengenai meditasi ini. Setelah meditasi kemudian diajak Mangku Alit untuk malukat di Pura. Nah terjadi keanehan di sini. Di mana, Ida kerauhan tidak jelas. Menurut Mangku Alit ikut mengabih Ida Maharsi Alit, mengatakan kebingungan. Pada sekitar setengah sebelas malam diajak langsung ke daerah Klungkung untuk minta pertolongan pada orang pintar. Ida Maharsi mengaku tidak mengerti apa yang dikatakan orang tersebut yang menyatakan, Ida hidup dalam dua dunia. Mangku Alit sendiri juga tidak mengetahui apa yang dikatakan balian tersebut.
Kemudian Ida juga disuruh untuk meditasi demi sebuah ketenangan. Awal meditasi memang biasa saja. Namun kemudian setelah meditasi yang kelima, Mangku Alit kembali kebingungan di mana Ida mengeluarkan uncaran Weda dan bahkan langsung melaksanakan mudra (gerakan tangan saat ngaweda). “Apa yang dirasakan ini memang tiang ketahui, namun awalnya kata-kata dan tindakan gerakan tangan ini tidak terasa dan secara sengaja dilakukan,” ujar Ida Maharsi Alit yang juga mengaku senang melakukannya.
Waktu pun terus berjalan, semakin hari semakin banyak weda yang turun dan Mangku Alit sendiri saat itu mengaku merasa sangat bingung akan kejadian ini. Dengan derasnya wahyu Weda tersebut turun langsung tersimpan dalam memori Ida Maharsi. Bahkan setiap pukul 5 sore, Ida diboyong keluar untuk mencari orang-orang sakit sekadar menanyakan hal yang terjadi ini.

Nah pada saat rerahinan Tilem, Ida mengatakan berkeinginan untuk madiksa. Kontan saja Mangku Alit tersentak mendengar keinginan ini. Namum, setelah sembayang atau meditasi selesai keinginan tersebut hilang dan Ida sendiri langsung tidak mau.
Bagi siapa saja akan terkejut mendengar keinginan yang bisa dikatakan aneh ini. Selain terbentur usia, status, dan juga kontroversi di masyarakat nantinya. Masalah kerauhan sering kali terjadi namun jarang ditanggapi keluarga.
Ada keinginan yang diikuti yakni melaksanakan Panewasrayaan (pergi mencari tempat suci keramat) seperti ke Puncak Gunung Agung, Batu Karu, Pulaki, Melanting, Lempuyang, dan juga Palinggih Siwa Pasupati (Ida Bhatara Lingsir di Serokadan).
Setiap melaksanakan persembahyangan kerap ada perintah-perintah gaib yang intinya agar Ida segera malinggih atau madiksa. Saat di Batu Karu sendiri, ada pawisik,  ada paica berupa Manik Asta Gina di rumah bersangkutan dan saat ini tidak diketahui. Karena dinyatakan dalam pawisik yang mendapatkan adalah almarhum bapaknya. Karena Manik Asta Gina inilah wahyu weda yang turun tidak hilang dan tersimpan dalam memori. Dan oleh karena itu diharuskan untuk malinggih dan bergelar Maharsi. Keluarga bingung. Kebanyakan dari mereka tidak setuju. Selain kasihan dengan Ida juga kepercayaan di masyarakat nantinya. Dan yang utama adalah dana untuk upacara tersebut.
Kemudian tangkil ke Griya Gede Nongan Karangasem ditanyakan kemudian Ida Pedanda di Nongan juga mengecek Ida Maharsi dan memang tidak diragukan lagi Ida harus madiksa.
Kemudian di pucak Gunung Agung sendiri juga sempat dijanjikan akan segera melaksanakan padiksaan. Namun setelah turun gunung sampai di bawah hal ini diingkari lagi. Hingga akhirnya besoknya sore sekitar jam tujuh malam Ida Maharsi yang saat walaka bernama Komang Widiantari terbujur kaku alias meninggal beneran. Kuku menguning dan kulit mulai mengkisut karena sudah hampir empat jam lebih dalam keadaan seperti ini.
Di apun ditangisi beramai-ramai. Dalam keberadaan matinya ini, Ida saat itupun merasakan dirinya memang terasa ada yang menarik paksa dan membawa naik. Dilihatnya keluarganya menangisi dirinya namun tidak berdaya untuk berkata apapun dalam kematiannya ini.
Dalam mimpi yang tampak nyata tersebut Ibu yang dilihat itu laksana ibunya sendiri. Bahkan Ida pun merasakan ada kedekatan yang besar setelah melihat ibu tersebut walaupun hanya nampak sebagian saja (ditindih batu besar). Ibu itu memohon belas kasihan karena sudah lama menantikan kelahiran Maharsi dan menjemputnya untuk terbebas dari ‘hukuman’ yang berat itu. “Ning tulung ibu sudah lama ditindih batu besar ini, hanya cening yang bisa membantu,” demikian kata ibu tersebut, ditirukan Ida Maharsi dengan memelas.
Setelah itu ada sabda langit (Ida Bhatara) “Jika mau melaksanakan tugas untuk madiksa dan menjadi sulinggih, maka Ibu ini akan terlepas,” kata Maharsi menirukan sabda yang turun langsung itu. setelah sadar kemudian Ida berfikir-fikir kembali untuk madiksa. Nah setelah yang kedua kalinya baru keinginannya 100% mau menjadi sulinggih apapun resikonya.
Nah setelah mau, ada kendala lagi di keluarga, di mana menurut Mangku Alit, sebagai krama biasa (sudra) sulit rasanya menjadi Sulinggih apalagi tidak ada dasar pemangkunya terlebih dahulu. Selain itu juga beratnya di ongkos. Karena masalah padiksaaan ini akan menghabiskan dana yang tidak sedikit dan bahkan harus memeras keringat ratusan orang biar mendapatkan dana yang sebesar itu. Karena kemauan yang keras dan persetujuan keluarga, akhirnya Mangku Alit berusaha keras untuk mendapatkan dana. Entah mencari sumbangan atau apapun. Nah kebetulan ada sameton dari Pasek Salahin yang memang berduit akan melaksanakan upacara di rumahnya. Dia adalah Bapak Ir Made Budiasa, yang Perbekel Peliatan, Ubud. Setelah diberitahukan keinginan tersebut, dia memang menyetujuinya, selain keinginan ada sulinggih dari Pasek Salahin juga memang untuk beryadnya.
Namun dia masih ragu dengan Ida Maharsi Alit. Mengapa demikian, karena diketahui Ida Maharsi saat nguncarang weda tersebut dikiranya hanyalah kerauhan biasa dan setelah itu tidak bisa lagi. Namun setelah diajak sembahyang ke Pura Luhur Batu Karu, baru percaya 100 %. Di mana dia menyaksikan langsung Ida memang benar-benar bisa dan meresap di otak. Bukan karena kalinggihan yang kemudian berlanjut dan lupa setelah di bale pawedaan.
Selain itu juga dibantu dengan istri dari Made Budiasa sendiri yang mengalami kerauhan dan menyuruh dia untuk bertanggung jawab untuk semuanya ini. Akhirnya kegiatan padiksan pun direncanakan.
Mengenai persetujuan dari legalitas hukum sudah diterima oleh pihak PHDI Bangli. Selain itu juga mendapat persetujuan dari sulinggih-sulinggih.  21 hari sebelum pelaksanaan pediksaan dilaksanakan terlebih dahulu upacara dwijati menjadi Ida Bhawati di Griya Agung Padang Tegal, Gianyar. Selain itu masalah pendanaan sudah ditangani langsung  Made Budiasa sendiri.
Kemudian dilanjutkan dengan upacara padiksannya pada 14 Maret 2006 di Griya Agung Budha Salahin, Tanggahan Tengah, Susut Bangli. Nuansa saat itu menurut Mangku Alit benar-benar luar biasa getarannya. Untuk nyeda raganya, memang benar-benar mati dalam semalam. Hal ini diakui oleh Mangku Alit yang saat ini ngabih Ida Maharsi.
Untuk Nabe napak adalah Ida Pandita Mpu Nabe Acarya Daksa. Sementara Guru Waktranya adalah Ida Bhagawan Bajra Sandi, Griya Taman Sari Tegak, Klungkung dan Guru saksinya adalah Ida Pandita Mpu Nabe Purwa Nata dari Singaraja.
Nah kemudian setelah melaksanakan padiksaan, walaka Komang Widiantari lahir kembali dengan bhiseka Ida Panditha Mpu Budha Alit Maharsi Paramadaksa untuk selamanya. Kehidupan di griya kemudian berjalan sebagaimana biasanya griya lainnya di Bali. Krama tidak pernah ada yang ragu untuk mapinunas di griya.
Dengan didampingi Mangku Alit yang kebetulan diangkat menjadi kakak angkatnya dulu. Ida merasa lebih pede untuk melaksanakan Yadnya. Pelaksanaan Weda benar-benar sempurna. Di mana Weda ada dua yakni Sruti  (uncaran yang dilakoni oleh Sulinggih) dan Smerti (berupa sastra untuk pelaksanaan yadnya yang dilakoni oleh Mangku Alit).
Wedan beliau berubah-ubah, namun tetap dalam makna yang sebenarnya. Bahkan setelah satu menit yang lalu ngaweda dan kemudian ngaweda yang selanjutnya dengan weda yang sama uncaran dan ucapannyapun berbeda namun memiliki makna yang sepenuhnya sama. Setelah 3 tahun malingih, Weda yang turun semakin banyak. Ida pun mampu membantu kesulitan krama baik masalah banten apapun dan keinginan apapun kecuali minta uang. Dengan sinergi Mangku Alit dan Ida maka keinginan krama bisa terpecahkan seperti nunas padewasan, tenungan dan berbagai hal lain yang tentunya untuk kebaikan. 

(SUMBER: https://baliaga.wordpress.com/2009/11/24/ida-panditha-mpu-budha-alit-maharsi-parama-daksa/
http://bali.tribunnews.com/2015/08/25/mediksa-usia-muda-ida-resi-istri-kubur-cita-cita-dan-cerita-cintanya)

Rabu, 26 April 2017

TRADISI MEGANDU

MEGANDU



 
Megandu merupakan salah satu Tradisi Budaya yang ada di Desa Adat Tanggahan Tengah. Belum diketahui asal kata Megandu, secara umum Megandu merupakan perang Ketupat dengan menggunakan Tipat yang bernama tipat megandu. Megandu merupakan salah satu tradisi adat budaya Umat Hindu di Tanggahan Tengah yang tergolong unik dan merupakan warisan leluhur yang masih terus dilaksanakan secara turun temurun dari dari generasi ke generasi sampai saat ini

Tradisi ini dilakukan setiap satu Tahun sekali yaitu bertepatan dengan Pujawali di Pura Masceti Tanggahan Tengah yang jatuh pada Sukra Umanis, Wuku Langkir. Penglingsir Tanggahan Tengah Menyebutkan makna dari Megandu itu sendiri adalah ungkapan terima kasih kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manefestasi beliau sebagai Dewi Sri sebagai perlambang Dewi Kesuburan dan Kemakmuran atas berkah yang telah beliu berikan ke warga khususnya warga Tanggahan Tengah.
Proses Megandu dimulai dengan Upacara Persembahyangan bersama di Pura Masceti Banjar Tanggahan Tengah. Setelah semua selesai sembahyang dan mendapat tirta maka tradisi Megandu dimulai. Peserta upacara Megandu di bagi dua kelompok dan saling berhadapan satu sama lain, setelah semuanya siap. 






Dengan terlebih dahulu diberikan aba aba, aksi saling lempar melempar ketupat menjadi saat menarik karena begitu riuh dengan sorak sorai peserta dan warga setempat yang ikut dan menyaksikan upacara Megandu, ini berlangsung kira kira lebih kurang selama selama 30 menit. 

Setelah selesai peserta Megandu akan Megibung (makan bersama-sama) berlambang berkah yang tuhan berikan ke hambanya.

Didaerah lain juga terdapat tradisi ini tetapi mungkin menggunakan Tipat dengan nama dan bentuk yang lain. Seperti di Desa Kapal, Mengwi, Kabupaten Badung misalnya, di daerah ini Perang Ketupat dilakukan setiap satu tahun sekali. Disebutkan Perang ketupat adalah simbolis hubungan yang dilakukan oleh Dewa Rare Angon dan Dewi Hyang Nini Bhogowati sebagai lambing kesuburan dan kemakmuran 
(sumber: http://www.komangputra.com/kekuatan-magis-tradisi-perang-ketupat-di-bali.html)

PUJAWALI & ODALAN PURA

DAFTAR PIODALAN DAN PUJAWALI DI BANJAR TANGGAHAN TENGAH

          Banjar Tanggahan Tengah merupakan salah satu Desa Adat yang ada di Bali. Desa Adat adalah desa yang sudah memiliki Khayangan Tiga yaitu Pura Dalem, Pura Puseh dan Pura Baleagung. Selain Pura yang termasuk Khayangan Tiga tadi terdapat pula Pura lain yaitu, Pura Dalem Sangsi, Pura Bujangga & Kentel Gumi, Pura Taman Sari, Pura Dalem Tengalaing/ Pura Merajan Agung, Pura Penataran, dan Pura Masceti. Kesembilan Pura yang terdapat di Banjar Tanggahan Tengah memiliki Odalan masing masing, dimana jatuh berdasarkan perpaduan antara sapta wara, panca wara dan wuku. Misalnya Pura Dalem yang tegak odalannya jatuh pada Sapta Wara yaitu Anggara(Selasa), dengan Panca Wara yaitu Kliwon, dan Wuku Tambir. Untuk mengecek tanggal pastinya bisa disesuaikan pada Kalender Bali. Odalan di Pura Lain dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1.

          Selain Odalan terdapat pula Pujawali Nyatur yang dilakukan di Pura Puseh yang biasa disebut Ngusaba Desa, diamana jatuh setiap satu tahun sekali yaitu pada Purnama Sasih Keenem. Terdapat Delapan Pura di Desa Adat Tanggahan Tengah, kedelapan Pura bagaikan Dewata Nawa Sanga yang berfungsi melindungi warga atau hambanya dari delapan penjuruh arah mata angin, dimana yang kesembilan adalah Desa Adat dan warga Tanggahan Tengah sendiri.

          Penulis merasa masih banyak kekurangan maupun kesalahan dalam tulisan ini, jika terdapat kesalahan penyebutan nama dan tempat, penulis tidak lupa meminta maaf kepada pihak yang merasa dirugikan. Semoga kedepannya kita selaku orang Bali saling menolong dan berkewajiban melestarikan Budaya dan Taksu Bali.


ttd


admin




Selasa, 25 April 2017

Sejarah Calonarang Tanggahan Tengah


Sejarah Calonarang Tanggahan Tengah


Tahun 1970an diyakini sebagai cikal bakal lahirnya Tarian Calonarang di banjar Tanggahan Tengah yaitu dengan tanda ada pawisik dari tapakan ida  bhatara bahwa tapakan ida bhatara istri harus tedun mesolah napak pertiwi. Mantan bendesa adat Tanggahan Tengah saat itu menyebutkan “waktu itu jro mangku Pura Dalem lingsir meminta agar ida bethara istri harus tedun napak pertiwi, tanpa pikir panjang saya mengiakan pawisik itu dan saya sendiri yang akan ngayah sebagai Pandung (Patih Taskara Maguna)” kata I Nyoman Pudja, S.Sn, M.Ag (jro mangku Mau) yang saat itu sebagai bendesa adat Tanggahan Tengah. ”Lakon pertama kali tidaklah lengkap atau belum menceritakan kisah Calonarang, pertama kali hanya ditarikan oleh beberapa penari saja yang penting ida bhatara istri bisa tedun mesolah” I Nyoman Pudja melanjutkan ceritanya.

I Nyoman Pudja, S.Sn, M.Ag (Jro Mangku Mau)
Namun seiring dengan berjalannya waktu beliau trus berpikir bagaimana cara agar menampilkan sebuah cerita saat nedunang ida bhatara istri mesolah, sehingga digaraplah sebuah cerita Pencalonarangan oleh I Nyoman Pudja, begitu beliau sering dipanggil. “Namun masalah belum selesai sampai disana, karena walaupun ada lakon namun penari kita belum ada”, tutur I Nyoman Pudja, sehingga beliau memulai menggarap dan mencari penari yang dibutuhkan. Dikatakan saat itu sangat sulit mencari Penari sehinga ada beberapa orang yang sampai dipaksa untuk mau menari. Namun dari hasil pemaksaan itu lahirlah penari penari yang sukses dan berkualitas saat ini, dimana beberpa penari yang terkenal itu seperti, I Wayan Ranggya(Penari Mantri), Alm.Kak Darsa (Penari Penasar), Jro Mangku Alit (Nengah Artana) sering disebut Nengah Anggur (Penari Wijil), Jro Mangku Wayan Danti (Penari Condong), Jro Mangku I Nyoman Pudja (Sebagai Pandung/Patih Taskaramaguna) dan masih banyak yang tidak bisa disebutkan satu persatu.


Ni Wayan Danti (Mbok Mangku)
Kesuksesan mendirikan Calonarang di Desa Adat Tanggahan Tengah tidak lepas dari para pelatih yang tidak henti membagi ilmunya. Beberapa Pelatih/Guru saat itu adalah Ibu Candri sebagai pelaih tarian Sisya, Condong, Mantri didampingi Jro Mangku I Nyoman Pudja sebagai pelatih penasar, wijil, celuluk, rangde beserta tarian lainnya. Sedangkan dari sisi Penabuh dilatih oleh seorang maestro terkenal namanya sering terdengar dengan nama Bape Jebeg dan I Nyoman Mustika maestro asli Tanggahan Tengah. Pada masa jayanya Calonarang Tanggahan Tengah sering pentas didaerah Bangli, Gianyar dan Klungkung dan beberapa kali di Pesta Kesenian Bali. Begitu penjelasan yang disebutkan oleh Jro Mangku I Nyoman Pudja selaku mantan Bendesa Adat dan sekaligus pendiri Calonarang di Banjar Tanggahan Tengah.


I Wayan Ranggia



Jika terdapat kesalahan penyebutan nama ataupun cerita penulis tidak lupa mohon maaf sebesar besarnya.


ttd


Admin