Minggu, 10 Februari 2019

Pentingnya Pohon Pepaya dan Pisang saat Pementasan Calonarang

Calonarang merupakan seni pertunjukan baik sebagai balih balihan maupun sebgai ritual tedunnya Ida Bhatara Tapakan. Secara umum mengangkat kisah Rangda Dirah sebagai alur cerita, Calonarang memang identik dengan kesan mistis dan kerauhan.


Menurut Dosen Ilmu Budaya Universitas Udayana, Prof. Dr. Drs. I Nyoman Suarka, M.Hum mengtakan bahwa Calonarang bukanlah cerita mengenai sebuah kejahatan, tidak juga mengenai ilmu kekebalan, apalagi Ilmu Pengleakan. “Calonarang merupakan sebuah pembelajaran yang mengajarkan kita untuk mengubah sebuah energy negative menjadi energy positif, itulah sebenarnya poin utamanya”

Diceritakan dalam Lontar Andhabhuwana bahwa asal muasal keberadaan Dewi Uma berubah menjadi Dewi Durga (Penguasa kuburan) yang diistanakan di Pura Dalem, diamana dalam halini Dewi Uma dalam bentuknya Dewi Durga sebagai simbul penguasa bentuk mala, seperti bhuta, dedemit, kala,memedi dan bentuk mala lainya. Kisah berubahnya Dewi Uma menjelma menjadi Dewi Durga dikarenakan kepastu oleh Dewa Siwa karena kebohongan yang diperbuat oleh Dewi Uma. Dikatakan kisah itu berawal saat Dewi Uma diutus untuk turun kedunia mencari susu, namun susu tersebut diperoleh setelah beliau melayani si pengembala dan hal tersebut tidak disampaikan ke Dewa Siwa. Namun dengan tenung Aji Saraswati milik Dewa Ganesha  kebohongan tersebut diketahui dan diceritakan ke Dewa Siwa. Namun Dewa Uma tidak menerima hal tersebut dan langsung membakar tenung Aji Saraswati sampai hangus. Mengetahui hal tersebut Dewa Siwa marah dan langsung mengutuk Dewi Uma menjelma turun kedunia menjadi Dewi Durga. Dewi Durga beristana sebagai penguasa kuburan yang diikuti oleh 108 Bhuta-Bhuti. Tugas dari Dewi Durga dan semua pengikutnya adalah untuk menyebar penyakit, serta menciptakan kegaduhan dan kehancuran di dunia. Ditengah tengah masa hukuman Dewi Uma menjadi Dewi Durga, dikatakan Dewa Siwa sangat rindu dengan Dewi Uma. Untuk bisa turun ke dunia akhirnya Dewa Siwa menjelma menjadi  wujud Barong (Detya Macan). Sesampainya di kuburan Dewa Siwa bertemu dengan rencang Dewi Durga, dan beliau langsung mengatakan maksud tujuan beliau yaitu untuk bertemu dengan Dewi Uma, namun dikatakan oleh anak buah Dewi Durga bahwa tidak ada yang namanya Dewi Uma yang ada hanya Dewi Durga, hal tersebut membuat Dewa Siwa marah dan akhirnya terjadilah pertempuran antara Dewa Siwa dan anak buah Dewi Durga, yang mengalami kekalahan ialah anak buah Dewi Durga dan mengadukan hal tersebut ke Dewi Durga. Dewi Durga tidak menerima hal tersebut dan langsung mengejar Dewa Siwa (dalam bentuk Barong) dan terjadilah pertempuran antara Dewa Siwa (dalam bentuk Barong) dan Dewi Uma (dalam wujudnya Dewi Durga). Melihat hal tersebut, Sang Hyang Tunggal akhirnya melerai pertempuran tersebut dan menjelaskan kesalahpahaman tersebut.

Akhirnya karena telah membuat kegaduhan Dewa Siwa dan Dewi Uma dihukum tetap menjelma di dunia dalam wujudnya tersebut. Dimana Siwa dengan wujudnya diberi tugas untuk berstana di Pura Prajapati. Sedangkan Dewi Durga tetap menjalani hukumannya sebagai penguasa Kuburan. Setelah masa hukuman mereka selesai, mereka diperbolehkan kembali ke Nirwana.

Dewi Durga kembali menjadi Dewi Uma setelah dilebur dengan mantram Panca Tirtha dan Panca Brahma Hredaya. Setelah dilebur, beberapa anggota tubuh Dewi Uma berubah menjadi berbagai jenis tumbuhan,  keringatnya menjadi bunga gemitir, Payudaranya menjadi Pohon Pepaya, air susunya menjadi Pohon Pisang Saba, badannya menjadi Pohon Pule. Kemudian tangan kanan menjadi Pohon Kepuh, tangan kirinya menjadi Pohon Kepah, Semua Tulangnya menjadi Tebu Ireng, jari jemarinya menjadi Pohon Pisang Gancan. Maka daripada itu Pohon Pisang serta Pepaya wajib ada saat pementasan Calonarang.

Hal tersebutlah alasan disetiap Pementasan Calonarang Ida Sesuhunan (Rangda) akan diiring ke Setra, terutama Pura Prajapati dan Gumuk Agung. Tujuannya adalah untuk melebur dan menyomia Kala Kali agar melebur kembali menjadi Dewa dan tidak mengganggu umat manusia lagi.


Kamis, 07 Februari 2019

TRADISI "UNIK" RAHINA GALUNGAN DI TANGGAHAN TENGAH

Galungan merupakan hari besar agama Hindu yang datang setiap enam bulan sekali, yaitu pada Rahina Buda Kliwon Dungulan. Terdapat beberapa tadisi unik yang masih terjaga sampai saat ini di Banjar Adat Tanggahan Tengah, seperti Ngejot Tumpeng (Ngejot Punjung), membuat Penjor Nganten, serta tidak kalah pentingnya adala Ngelawang.


Secara Umum Ngejot merupakan tradisi memberikan makanan kepada para tetangga sebagai rasa terima kasih. Ngejot Punjung hari raya Galungan di Tanggahan Tengah dilakukan oleh semua warga ditujukan kepada warga yang "Nganten" (menikah) sebelum hari raya Galungan tersebut. Warga biasanya membawa perlengkapan rumah tangga seperti beras, gula, tumpeng serta Sate Galungan (sate lembat, sate asem, sate gunting, dan sate kurung), setelah itu warga yang ngejot pulangnya akan membawa tape dan Jajanan Uli yang diberikan oleh keluarga yang Nganten. Makanan ini merupakan makanan khas saat hari Galungan di Bali.


Sedangkan untuk Penjor Anten merepukan penjor yang memiliki ukuran yang lebih besar dari ukuran Penjor lainnya. Penjor Anten dibuat se-Seni dan se-Kreatif mungkin, tujuannya adalah pertanda bahwa salah satu pemilik rumah selesai menikah sebelum hari Galungan tersebut datang.

Ngelawang dari kata ngelawang kata akhir diambil dari kata "lawang" yang artinya “pintu” dan ditambah awalan “nge”. Tradisi ngelawang ini bertujuan untuk mengusir roh-roh jahat dan melindungi penduduk dari wabah atau penyakit yang diakibatkan oleh roh-roh (bhuta kala), serta agar warga desa diberikan keselamatan dan kerahayuan.  Pada saat berlangsung Ngelawang mereka akan berkeliling banjar / desa, menarikan barong tersebut dari rumah ke rumah. Tradisi Ngelawang biasanya dilaksanakan setiap 6 bulan sekali (210 hari) di antara Hari raya Galungan dan Kuningan.